Mengatasi Anak yang Mudah Marah di Kelas PAUD melalui Pendekatan Emosional
Anak usia dini masih berada dalam tahap belajar mengenali dan mengendalikan emosinya. Pada masa ini, hal-hal kecil seperti berebut mainan, tidak kebagian giliran, atau merasa tidak diperhatikan bisa memicu kemarahan. Situasi seperti ini sering terjadi di kelas PAUD.
Sebagai guru, kita tidak bisa langsung menegur atau memarahi anak yang sedang marah, karena mereka belum mampu memahami emosinya dengan baik. Diperlukan pendekatan yang lembut dan penuh empati agar anak bisa belajar menenangkan diri dan menyalurkan emosi dengan cara yang positif.
*Penyebab Anak Mudah Marah
Ada banyak hal yang bisa membuat anak cepat marah. Misalnya:
-Anak merasa tidak dimengerti oleh guru atau teman
-Anak kelelahan atau lapar
-Anak meniru perilaku orang dewasa di rumah
-Anak belum bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, jadi anak mengungkapkannya dengan perilaku.
Sebagai guru, penting untuk tidak langsung menilai anak “nakal”, tapi mencoba memahami apa yang sedang ia rasakan. Kadang, anak marah bukan karena ingin mengganggu, tapi karena butuh perhatian dan bantuan untuk menenangkan diri.
* Pendekatan Emosional dalam Menghadapi Anak yang Marah
Pendekatan emosional berarti guru mencoba memahami perasaan anak dan membantu mereka mengekspresikannya dengan cara yang tepat. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
-Tetap tenang dan tidak membalas emosi anak. Guru yang tenang bisa membantu anak ikut tenang.
-Dengarkan perasaan anak. Misalnya dengan berkata, “Kamu sedang marah karena mainannya diambil, ya?”
-Beri waktu untuk menenangkan diri. Anak bisa diajak duduk di tempat yang nyaman dulu sebelum melanjutkan kegiatan.
-Ajak berbicara setelah anak tenang. Di saat ini guru bisa mengajarkan cara menyelesaikan masalah, seperti bergantian atau berbagi.
Pendekatan seperti ini membuat anak merasa dihargai dan lebih mudah belajar mengontrol emosi tanpa takut dimarahi.
*Contoh Pengalaman di Kelas
Saya pernah menghadapi anak yang sering marah ketika mainannya diambil teman. Ia biasanya langsung menangis, atau diam merenung bahkan mendorong temannya. Saya mencoba mendekatinya dan berkata, “Kamu sedih, ya, karena mainanmu diambil?” Anak itu mengangguk sambil menangis. Setelah saya tenangkan, saya ajak dia bicara tentang cara bergantian bermain.
Beberapa hari kemudian, anak itu mulai bisa meminta mainan dengan sopan dan tidak langsung marah lagi. Dari situ saya belajar bahwa perhatian kecil dan kesabaran guru bisa membawa perubahan besar pada anak. Dan saya pun pernah menghadapi anak yang marah dengan terdiam dan menangis kecil karena barangnya di rusak oleh temannya, dan saya pun mendekatinya dan mencoba berkata, “kamu sedih, ya, karena barang kamu di rusak oleh temanmu?” anak itu mengangguk , dan saya ajak bicara kedua anak itu, tanpa di tanya ternyata anak yang merusak barang itu mengaku dan meminta maaf, dan saya berkata kepada kedua anak itu dengan menyampaikan bahwa barangnya akan di perbaiki, dan menyampaikan cara merawat dan menjaga barang pribadi dan jangan merusak barang milik orang lain.
*Peran Guru dan Orang Tua
Guru dan orang tua perlu bekerja sama dalam membantu anak belajar mengelola emosi. Orang tua sebaiknya tidak langsung memarahi anak saat marah, tapi mencontohkan cara menenangkan diri, seperti menarik napas atau bicara pelan. Sementara di sekolah, guru bisa memberikan kegiatan yang melatih empati dan kerja sama, seperti bermain peran atau gotong royong sederhana.
Kesimpulan
Menghadapi anak yang mudah marah membutuhkan kesabaran dan pemahaman. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendamping emosional bagi anak. Dengan pendekatan yang lembut dan penuh kasih, anak akan belajar mengenali emosinya, menyalurkannya dengan baik, dan tumbuh menjadi pribadi yang tenang serta mampu menghargai perasaan orang lain.
Pendekatan emosional bukan hanya membantu anak, tetapi juga menciptakan suasana kelas yang lebih nyaman dan penuh kasih sayang.
Oleh : Rahmatia Husna – Mahasiswa Semester 3- Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Muhammadiyah Kuningan

