Memahami Kejenuhan Belajar Anak Usia Dini dari Sisi Psikologisnya
Anak usia dini dikenal dengan rasa ingin tahunya yang tinggi. Mereka gemar bertanya, bereksperimen, dan belajar dari apa saja yang ada di sekitarnya. Namun, di balik semangat alami itu, tidak sedikit guru dan orang tua yang mengeluhkan anak-anak yang “sulit fokus”, “tidak mau belajar”, atau “cepat bosan saat kegiatan belajar”. Banyak yang menilai hal itu sebagai bentuk kemalasan. Padahal bisa jadi anak sedang mengalami kejenuhan belajar, sebuah kondisi psikologis yang muncul ketika anak terlalu dipaksa belajar dengan cara yang tidak sesuai dengan tahap perkembangannya.
Menurut pandangan psikologi pendidikan, anak usia dini masih berada pada tahap perkembangan kognitif praoperasional (Jean Piaget). Pada tahap ini, anak memahami dunia melalui aktivitas konkret dan pengalaman langsung. Belajar bagi mereka seharusnya dikemas melalui bermain, bercerita, bereksperimen, dan berinteraksi dengan lingkungan.
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Berdasarkan hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023, ditemukan bahwa sekitar 62% anak usia dini di Indonesia sudah mengalami tekanan dalam proses belajar karena kegiatan belajar yang terlalu menekankan aspek akademik. Banyak lembaga PAUD menerapkan kegiatan yang mirip dengan Sekolah Dasar, seperti latihan menulis huruf, berhitung cepat, dan tugas lembar kerja harian. Kegiatan yang monoton seperti itu membuat anak cepat kehilangan minat dan mudah bosan. Anak tidak lagi menikmati proses belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, melainkan sebagai kewajiban yang melelahkan.
Gejala atau tanda yang ditunjukkan anak ketika ia merasakan kejenuhan belajar diantaranya anak tampak murung, tidak antusias, menolak bergabung dalam kegiatan belajar; anak lebih mudah marah, menangis, atau bahkan senang bermain sendiri jika ada kegiatan berkelompok.
Beberapa guru mungkin menganggap anak yang tidak mau mengikuti kegiatan sebagai anak yang “malas” atau “tidak disiplin”, padahal itu bisa menjadi tanda jenuh. Dari sisi psikologi, hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar emosi dan rasa aman anak tidak terpenuhi. Menurut teori Erik Erikson, anak usia 4–6 tahun berada pada tahap initiative vs guilt — di mana mereka membutuhkan dukungan untuk mencoba hal baru. Jika anak justru ditekan atau disalahkan karena “tidak mau belajar”, mereka bisa kehilangan rasa percaya diri dan inisiatif untuk bereksplorasi.
Psikologi pendidikan menekankan bahwa belajar akan bermakna bila anak merasa aman, bahagia, dan terlibat aktif. Oleh karena itu, kegiatan belajar di PAUD harus mengintegrasikan unsur bermain, eksplorasi, dan kebebasan berekspresi.
Sejak memahami hal itu, saya sebagai mahasiswi Program Studi Pendidikan Guru Anak Usia Dini mulai berpikir dan sadar bahwa tugas seorang guru bukan sekadar mengajarkan materi, tapi juga menjaga mental anak tetap bahagia dan termotivasi saat belajar. Sehingga kelak saya bisa menjadi guru yang memahami kebutuhan psikologis anak, bukan guru yang menilai anak hanya dari kepatuhannya mengikuti kegiatan belajar.
Oleh : Salma Khoerunnisa (244223005) – Mahasiswi Program Studi Pendidikan Guru Anak Usia Dini Universitas Muhammadiyah Kuningan.

